Gedung Teater di Kota Malang Tema Arsitektur Neo Vernakular

Bintoro, Ridho (2015) Gedung Teater di Kota Malang Tema Arsitektur Neo Vernakular. Skripsi thesis, ITN MALANG.

[img] Text
Untitled.pdf
Restricted to Registered users only
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial Share Alike.

Download (11MB)

Abstract

Arsitektur pada umumnya merupakan proses merancang, yang akan di bangun sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang ada. Kondisi ini kerap kali di sejajarkan dengan derajat sosial, ekonomi, politik, dan simbol-simbol budaya. Sebagaai seni, arsitektur mempunyai arti yang lebih luas dari pada persyaratan fungsional semata-mata dalam sebuah program bangunan. Pada zaman ini teater sangatlah diminati dan banyak penggemarnya, Mengingat di malang masih belum ada auditorium yang menyajikan pertunjukan teater maka akan dirancang sebuah fasilitas auditorium teater yang terletak di Kecamatan klojen, Jalan bandung, Malang. Menurut Leslie L. Doelle (1993) Bentuk ruang auditorium dapat dibagi berdasarkan sistem akustiknya. Pembagian tersebut adalah Segi Empat, Kipas (Melingkar), Brntuk Tapal Kuda, dan Tidak Beraturan. Dari keempat bentuk tersebut yang paling bagus untuk dijadikan bentuk ruang adalah bentuk kipas karena Fokus pandangan di semua area ruang penonton tertuju ke sebuah pusat, yakni panggung pertunjukan. Akan tetapi bangunan yang di buat ini adalah bangunan yang di khususkan untuk teater kontemporer dimana teater kontemporer ini merupakan aliran teater yang bias di bilang fleksibel. Dengan demikian di design lah lantai auditorium yang juga fleksibel. Untuk mendapatkan kenyamanan saat menonton pertunjukan maka Jarak tempat duduk penonton tidak boleh lebih dari 20 meter dari panggung agar penyaji pertunjukan dapat terlihat dan terdengar dengan jelas. Akan tetapi untuk mendapatkan kekerasan yang cukup saja (tanpa harus melihat penyaji dengan jelas), misalnya pada pementasan orkestra atau konser musik, toleransi jarak penonton dengan penyaji dapat lebih jauh hingga jarak maksimum dengan pendengar yang terjauh adalah 40m, dan Lantai di area penonton harus dibuat miring karena bunyi lebih mudah diserap bila merambat melewati penonton dengan sinar Datang miring (grazing incidence). Aturan gradien kemiringan lantai yang ditetapkan tidak boleh lebih dari 1:8 atau 30° dengan pertimbangan keamanan dan keselamatan. Kemiringan lebih dari itu menjadikan lantai terlalu curam dan membahayakan. Untuk tempat penonton Jumlah penonton menentukan luas area yang diperlukan. Untuk penonton yang duduk diperlukan ≥ 0,5 m2 / penonton. Angka ini diperoleh dari luas tempat duduk dalam satu baris Sehingga untuk mencegah berkurangnya energi suara, sumber bunyi harus dikelilingi oleh permukaan-permukaan pemantul bunyi seperti gypsum board, plywood, flexyglass dan sebagainya dalam jumlah yang cukup banyak dan besar untuk memberikan energi bunyi pantul tambahan pada tiap bagian daerah penonton, terutama pada tempat-tempat duduk yang jauh .Langit-langit dan dinding samping auditorium merupakan permukaan yang tepat untuk memantulkan bunyi. (sumber : Mills 1976). Dan untuk Pengambilan bentuk pada bangunan di dasari oleh bentuk site, dan penataan zonasinya mengadaptasi dari zonasi rumah adat jawa karena tema yang di ambil adalah Arsitektur neo vernacular.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Subjects: Engineering > Architectural Engineering
Institut Teknologi Nasional Malang > Fakultas Teknologi Industri > Architectural Engineering
Divisions: Fakultas teknik Sipil dan Perencanaan > Teknik Arsitektur S1 > Teknik Arsitektur S1(Skripsi)
Depositing User: mr Aditya endra sayekti
Date Deposited: 26 Feb 2019 02:29
Last Modified: 06 Mar 2019 04:22
URI: http://eprints.itn.ac.id/id/eprint/2421

Actions (login required)

View Item View Item